Powered By Blogger

Kamis, 27 November 2014

TUGAS SEJARAH



Indian Company (EIC)


Kantor dagang Inggris yang didirikan tahun 1600 di London, karena dalam kenyataannya Inggris memang lebih dulu datang ke Indonesia sebelum Belanda. Mereka mengirimkan beberapa voyages (gugusan kapal) ke kepulauan nusantara. Inggris memberanikan diri untuk berlayar sejauh itu karena sebelumnya telah ikut dengan armada Portugis. Di Asia, Inggris tidak mempunyai sistem administrasi terpusat seperti Belanda, maka tidak mengherankan kalau di Banten ada tiga kantor dagang milik Inggris.
EIC tidak mampu bersaing dengan VOC dalam merebut monopoli rempah-rempah. Di Batavia tidak bisa bertahan, di Banten harus tunduk kepada kebijaksanaan VOC, di Maluku terpaksa diusir dari Pulau Run (1622), dan di Ambon beberapa pegawai EIC ada yang dibunuh (1623). Inggris baru mengalami kemenangan sewaktu Lord Minto dan St. Raffles menduduki Jawa (1811-1816).


Seperti tercatat dalam sejarah, Indonesia pernah berada dalam jajahan Inggris. Inggris secara resmi menjajah Indonesia lewat perjanjian Tuntang (1811) dimana perjanjian Tuntang memuat tentang kekuasaan belanda atas Indonesia diserahkan oleh Janssens (gubernur Jenderal Hindia Belanda) kepada Inggris.
Namun sebelum perjanjian Tuntang ini, sebenarnya Inggris telah datang ke Indonesia jauh sebelumnya. Perhatian terhadap Indonesia dimulai sewaktu penjelajah F. Drake singgah di Ternate pada tahun 1579. Selanjutnya ekspedisi lainnya dikirim pada akhir abad ke-16 melalui kongsi dagang yang diberi nama East Indies Company (EIC). EIC mengemban misi untuk hubungan dagang dengan Indonesia. Pada tahun 1602, armada Inggris sampai di Banten dan berhasil mendirikan Loji disana. Pada tahun 1904, Inggris mengadakan perdagangan dengan Ambon dan Banda, tahun 1909 mendirikan pos di Sukadana Kalimantan, tahun 1613 berdagang dengan Makassar (kerajaan Gowa), dan pada tahun 1614 mendirikan loji di Batavia (jakarta). Dalam usaha perdagangan itu, Inggris mendapat perlawanan kuat dari Belanda. Belanda tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mengusir orang Inggris dari Indonesia. Setelah terjadi tragedi Ambon Massacre, EIC mengundurkan diri dari Indonesia dan mengarahkan perhatiannya ke daerah lainnya di Asia tenggara, seperti Singapura,  Malaysia, dan Brunei Darussalam sampai memperoleh kesuksesan. Inggris kembali memperoleh kekuasaan di Indonesia melalui keberhasilannya memenangkan perjanjian Tuntang pada tahun 1811. Selama lima tahun (1811 – 1816), Inggris memegang kendali pemerintahan dan kekuasaanya di Indonesia.
Indonesia mulai tahun 1811 berada dibawah kekuasaan Inggris. Inggris menunjuk Thomas Stanford Raffles sebagai Letnan Gubernur jenderal di Indonesia. Beberapa kebijakan Raffles yang dilakukan di Indonesia antara lain:
  • Jenis penyerahan wajib pajak dan rodi harus dihapuskan;
  • Rakyat diberi kebebasan untuk menentukan tanaman yang ditanam;
  • Tanah merupakan milik pemerintah dan petani dianggap sebagai penggarap tanah tersebut;
  • Bupati diangkat sebagai pegawai pemerintah.
Akibat dari kebijakan diatas, maka penggarap tanah harus membayar pajak kepada pemerintah sebagai ganti uang sewa. Sistem tersebut disebut Lnadrent atau sewa tanah. Sistem tersebut memiliki ketentuan, antara lain:
  1. Petani harusmenyewa tanah meskipun dia adalah pemilik tanah tersebut;
  2. Harga sewa tanah tergantung kepada kondisi tanah;
  3. Pembayaran sewa tanah dilakukan dengan uang tunai;
  4. Bagi yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala.
Sistem landrent ini diberlakukan terhadap daerah-daerah di Pulau jawa, kecuali daerah-daerah sekitar Batavia dan parahyangan. Hal itu disebabkan daerah-daerah Batavia pada umumnya telah menjadi milik swasta dan daerah-daerah sekitar Parahyangan merupakan daerah wajib tanam kopi yang memberikan keuntungan yang besar kepada pemerintah. Selama sistem tersebut dijalankan, kekuasaan Bupati sebagai pejabat tradisional semakin tersisihkan karena trgantikan oleh pejabat berbangsa Eropa yang semakin banyak berdatangan.
Raffles berkuasa dalam waktu yang cukup singkat. Sebab sejak tahun 1816 kerajaan Belanda kembali berkuasa di Indonesia. Pada tahun 1813, terjadi prang Lipzig antar Inggris melawan Prancis. Perang itu dimenangkan oleh Inggris dan kekaisaran Napoleon di Prancis jatuh pada tahun 1814. Kekalahan Prancis itu membawa dampak pada pemerintahan di negeri Belanda yaitu dengan berakhirnya pemerintahan Louis Napoleon di negeri Belanda. Pada tahun itu juga terjadi perundingan perdamaian antara Inggris dan Belanda.  Perundingan itu menghasilkan Konvensi London atau Perjanjian London (1814), yang isinya antara lain menyepakati bahwa semua daerah di Indonesia yang pernah dikuasai Belanda harus dikembalikan lagi oleh Inggris kepada Belanda, kecuali daerah Bangka, Belitung dan Bengkulu yang diterima Inggris dari Sultan Najamuddin. Penyerahan daerah kekuasaan di antara kedua negeri itu dilaksanakan pada tahun 1816. Dengan demikian mulai tahun 1816, Pemerintah Hindia-Belanda dapat kembali berkuasa di Indonesia.
Demikianlah artikel Sejarah penjajahan Inggris di Indonesia, semoga artikel sederhana ini dapat memberikan wawasan kesejarahan bagi kita semua. [ki] 


2.2  Kedatangan Inggris ke Indonesia
Kedatangan bangsa Inggris ke Indonesia dirintis oleh Francis Drake dan Thomas Cavendish. Dengan mengikuti jalur yang dilalui Magellan, pada tahun 1579 Francis Drake berlayar ke Indonesia. Armadanya berhasil membawa rempah-rempah dari Ternate dan kembali ke Inggris lewat Samudera Hindia. Perjalanan beriktunya dilakukan pada tahun 1586 oleh Thomas Cavendish melewati jalur yang sama.
Pengalaman kedua pelaut tersebut mendorong Ratu Elizabeth I meningkatkan pelayaran internasioalnya. Hal ini dilakukan dalam rangka menggalakan ekspor wol, menyaingi perdagangan Spanyol, dan mencari rempah-rempah.
Ratu Elizabeth I kemudian memberi hak istimewa kepada EIC (East Indian Company) untuk mengurus perdagangan dengan Asia. EIC kemudian mengirim armadanya ke Indonesia. Armada EIC yang dipimpin James Lancestor berhasil melewati jalan Portugis (lewat Afrika). Namun, mereka gagal mencapai Indonesia karena diserang Portugis dan bajak laut Melayu di selat Malaka.
Awal abad ke 17, Inggris telah memiliki jajahan di India dan terus berusaha mengembangkan pengaruhnya di Asia Tenggara, kahususnya di Indonesia. Kolonialisme Inggris di Hindia Belanda dimulai tahun 1604. menurut catatan sejarah, sejak pertama kali tiba di Indonesia tahun 1604, EIC mendirikan kantor-kantor dagangnya. Di antaranya di Ambon, Aceh, Jayakarta, Banjar, Japara, dan Makassar.
Walaupun demikian, armada Inggris tidak mampu menyaingi armada dagang barat lainnya di Indonesia dagang Barat lainnya di Indonesia, seperti Belanda. Mereka akhirnya memusatkan aktivitas perdagangannya di India. Mereka berhasil membangun kota-kota perdagangan seperti Madras, Kalkuta, dan Bombay
Pada tahun 1610, gubernur Jendral Belanda pertama, Bolt, tiba di Bantam. Ia berpendapat bahwa daerah tersebut tidak cukup baikk untuk dijadikan tempat pemukiman tetap sehingga ia pindah ke Jakarta. Pada tanggal 4 Maret 1621, nama Batavia diganti oleh pemerintah Hindia Belanda menjadi Jakarta (Jakarta Sekarang), yang sejak saat itu menjadi ibukota Hindia Timur.[1]
Pada tahun 1811, tentara Inggris melancarkan serangan terhadap daerah-daerah yang diduduki oleh Belanda, termasuk Hindia Timur atau yang lebih dikenal dengan Hindia-Belanda (sekarang Indonesia). Pasukan Inggris tidak mengalami kesulitan menghadapi pasukan Belanda. Selain itu, pasukan Belanda juga mendapat serangan dari pasukan raja-raja di Jawa. Serangan itu menyebabkan Belanda akhirnya menyerah kepada Inggris. Oleh sebab itu, sejak tahun 1811 Hindia Timur menjadi jajahan Inggris dengan kongsi dagang EIC nya yang dipimpin oleh Gubernur-Jenderal Lord Minto. Lord Minto kemudian mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai pemegang kekuasaan atas Pulau Jawa dengan pangkat Letnan Gubernur Jenderal.
Pada tanggal 8 Agustus 1811, mereka berhasil menguasai Batavia. Jenderal Jumel yang ditugaskan mempertahankan Batavia terpaksa mundur hingga di garis pertahanan Meester Cornelis. Kemudian pimpinan pertahanan diambil oleh Jansens. Ia dihimbau agar Pulau Jawa diserahkan kepada Inggris tetapi ditolak. Segera terjadi pertempuran yang hebat di Meester Cornelis selama 16 hari. Tentara Belanda ternyata tidak sanggup bertahan sehingga Jansens mundur ke arah Bogor. Dari Bogor ia berangkat ke Semarang dengan harapan dapat mempertahankan Pulau Jawa dari sana. Ia juga mengharapkan raja-raja yang berkuasa dapat memberikan bantuan, tetapi hal itu tidak terpenuhi.
Pada tanggal 18 September 1811, Jansens terpaksa menyerahkan kepada Inggris. Ia menandatangi Perjanjian Tuntang yang isinya sebagai berikut.
  1. Pulau Jawa, Palembang, dan Makasar diserahkan kepada Inggris
  2. Semua anggota tentara Belanda ditahan
  3. Pemerintah Inggris tidak akan mengakui utang-utang yang dibuat oleh pemerintah Prancis selama masa pemerintahan Daendels
  4. Pegawai-pegawai pemerintah yang masih ingin bekerja di bawah pemerintah Inggris boleh ettap memegang jabatannya.
Dengan adanya Perjanjian Tutang itu, sejak tanggal 17 September 1811 Belanda tidak memiliki kekuasaan di Indonesia. Lord Minto sebagai Wakil Pemerintah Inggris di India mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Hindia Belanda. Wakilnya adalah Robert Rallo Gillespie, seorang Kolonel yang kemudian dinaikkan pangkatnya pada tahun 1812 menjadi Mayor Jenderal.[2]
Sebagai penganut paham liberalis, Raffles mengadakan peruabhan pemerintahan dan ekonomi. Dalam bidang pemerintahan, ia membagi wilayah Indonesia atas empat wilayah gubernemen (daerah administrasi), yaitu Malaka, Bengkulu, Maluku, dan Jawa yang dibaginya menjadi 16 Keresidenan. Dalam bidang ekonomi, ia melaksanakan kebijaksanaan ekonomi yang didasarkan pada prinsip ekonomi liberal, yakni kebebasan dalam berusaha dan perdagangan. Sehubungan dengan itu, dalam masa pemerintahannya (1811-1916), ia mencoba kebijakan sebagai berikut :
  1. Menghapus segala penyerahan wajib dan kerja paksa atau rodi. Rakyat diberikan kebebasan untuk menanam tanahnya dengan jenis tanaman yang menguntungkan.
  2. Mengadakan perubahan sistem pemerintahan yang semula dilakukan oleh penguiasa bumiputra dengan sistem pemerintahan konolial yang bercorak Barat.
  3. Bupati-bupati atau penguasa-penguasa bumiputra dilepaskan dari kedudukannya dan dijadikan pegawai kolonial yang berada langsung di bawah pemerintah pusat. Dengan demikian, mereka tidak lagi sebagai penguasa daerah, ettapi sebagai pegawai yang harus menjalannkan tugas atas perintah atasannya.
  4. Thomas Stamford Raffles menganggap pemerintah kolonial adalah pemilik semua tanah yang ada di daerah jajahannya. Oleh karena itu, bagi mereka yang menggarap tanah adalah penyewa tanah pemerintah, sehingga wajib membayar sewa tanah kepada pemerintah. Sewa tanah atau landrent diserahkan sebagai pajak atas pemakaian tanah pemerintah oleh penduduk.
Selain itu tindakan Raffles selama memerintah diIndonesia:
a.       Bidang pemerintahan
1.      Membagi Pulau Jawa menjadi 18 karesidenan
(Banten, Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kedu, Jipang-Grobogan, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Banyuwangi, MaduraVorstenlanden Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang meliputi Mancanagara Wetan dan Mancanagara Kilen.)
2.      Mengangkat Bupati menjadi pegawai negeri yang digaji
3.      Mempraktekan sistem yuri dalam pengadilan seperti di Inggris
4.      Melarang adanya perbudakan
5.      Membangun pusat pemerintahan di Istana Bogor 

b.      Bidang perekonomian dan keuangan
1.      melaksanakan sistem sewa tanah (Land rente),
Tindakan ini didasarkan pada pendapatan bahwa pemerintah Inggris adalah yang berkuasa atas semua tanah, sehingga penduduk yang menempatitanah wajib membayar pajak.
2.      Meneruskan usaha yang pernah dilakukan Belanda misalnya penjualan tanah kepada swasta, serta penanaman kopi.
3.      Melakukan penanaman bebas, melibatkan rakyat ikut serta dalam perdagangan.
4.      Memonopoli garam agar tidak dipermainkan dalam perdagangan karena sangat penting bagi rakyat.
5.      Menghapus segala penyerahan wajib dan kerja rodi



c.       Sejarah dan keadaan alam Indonesia.
1.      Membangun gedung Harmoni di jalan Majapahit Jakarta untuk Lembaga Ilmu pengetahuan yang berdiri sejak tahun 1778 bernama Bataviaasch Genootschap
2.      Menyusun sejarah Jawa berjudul “Histori of Jawa“ yang terbit tahun 1817.
3.      Namanya diabadikan pada nama bunga Bangkai raksasa yang ditemukan seorang ahli Botani bernama Arnold di Bengkulu dan Raffles adalah Gubernur Jenderal di daerah tersebut
Raffles membayangkan bahwa apabila para petani memiliki kebebasan untuk merawat tanamannya dan menjual hasilnya secara bebas, maka mereka akan terdorong untuk bekerja lebih giat. Makin giat mereka bekerja, makin besar pula hasil yang akan diperoleh. Dengan kata lain, kegairahan bekerja akan meningkat sesuai dengan harapan akan menikmati hasilnya.
Niat Raffles untuk meningkatikan kehidupan rakyat ternyata tidak berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan ekonomi masyarakat desa pada waktu itu belum memungkinan petani untuk memperoleh uang sebagai pengganti hasil bumi. Selain itu, para bupati dan petugas lainnya banyak yang korup. Sekali pun demikian usaha Raffles cukup berarti karena berhasil mengurangi kekuasaan para Bupati. Demikian pula sistem sewa tanah yang walaupun kurang berhasil, tetapi dilanjutkan pula oleh pemerintah Belanda pada masa berikutnya.
2.3  Thomas Stamford Raffles (1781 – 1826)
Orang Inggris dan singapura menyebutnya dengan pangilan terhormat, Sir. Padahal, sosok yang paling banyak meninggalkan nama ilmiah pada kekayaan flora dan fauna di Hindia – Belanda ini, tidak lahir dari lingkungan istana. Dia bukan bangsawan atau kaum feudal yang berhak menyandang gelar “Tuan”. Bayi yang diberi nama Thomas Raffles tersebut lahir nun jauh di lepas pantai Jamaika, dekat Port Morant, di atas geladak Kapal Ann, pada 6 Juli 1781.
Ayahnya Benjamin Raffles (1739 – 1812), pada awalnya hanyalah seorang tukang masak disebuah kapal hingga akhirnya menjadi kapten. Ibu nya adalah Anne Lyde Linderman (1752 – 1824), putrid pasangan Linderman (1721 – 1791) dan Susannah Leigh (1725 – 1754). Krisis ekonomi yang melanda Inggris pada masa itu menyebabkaan keluarga kapten Benjamin Raflees menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup berat. Situasi ekonomi yang tidak menentu ini, memaksa Thomas Raffles muda untuk mencari pekerjaan guna menyongkong ekonomi kelurganya. Ditunjang pendidikan formal seadanya, Thomas Raffles beruntung taktala ayah dari seorang sahabatnya member pekerjaan pertama sebagai juru tulis disebuah perusahaan Hindia – Timur (1759). Raffles dikenal sebai pemuda yang tekun dan rajin belajar. Berkat keuletan dan kemauannya yang kerja keras, ia kemudian di promosikan menjadi Asisten sekertaris di perusahaan yang sama untuk wilayah kepulauan melayu.
Thomas Raffles baru mencantumkan nama “Stamford” di tengah namanya dikemudian hari, yaitu ketika sosok berkarakter penuh warna ini berkembang menjadi pribadi yang sangat dihormati di kawasan laut Cina Selatan. Sejarah hidup Thomas Stamford Raffles dimulai ketika dirinya dikirim ke Pulau Penang, Malaysia pada 1804.
Pada tahun 1811, Thomas Stamford Raffles disertakan dalam rombongan ekspedisi ke tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur (Lieutenant Governor of Java), di bawah perintah Gubernur Jendral (di India) Sir Gilbert Elliot Murray-Kynyn-mond (1751 – 1841) atau yang lebih di kenal dengan nama Lord Minto. Tahun 1814 Lord Minto meninggal dunia dan Raffles menjadi Gubernur Jenderal di Jawa sampai 1816.
Pada 1818, Thomas Stamford Raffles kembali ke timur dan segera di promosikan menjadi gubernur Bengkulu (Bencoolen), yang kemudian di kenal sekarang sebagai pulau Sumatera. Pada masa pemerintahannya di pesisir pantai barat Sumatera itu, Raffles melakukan banyak kegiatan penelitian flora dan fauna, yang baginy asangat menakjubkan. Dia menelusuri hutan di pedalaman Sumatera serta sabagian pulau Jawa bersama para ahli binatang dan botani yang dipekerjakan di luar misi imperialisme dagang yang ditugaskan kerajaan Inggris. Eksotisme Flora dan fauna di tanah Jawa dan Sumatera, telah membuat hatinya tertambat.
Tahun 1819 Raffles menggagas pusat perdagangan di  Pulau Singapura dalam kerja sama dengan Tumenggung Sri Maharaja penguasa Singapura. Inggris diizinkan mendirikan koloni di Singapura dengan syarat Inggris melindungi para pedagang Singapura dari Belanda dan Bugis. Raffles bersumpah Singapura akan dijadikan koloni baru yang meskipun kecil, namun akan jauh lebih maju dari Tanah Jawa yang dikuasai Belanda. Sumpah Raffles terwujud. Singapura menjadi pusat perdagangan paling penting di wilayah Hindia Timur, sampai kini.
Thomas Stamford Raffles sangat terpesona oleh keragaman besar dari hewan aneh dan tanaman dari Hindia Timur selama masa jabatannya di sana. Dia segera dipekerjakan ahli zoologi dan botani untuk menemukan semua yang mereka dapat tentang hewan dan tumbuhan di kawasan dan akan membayar asistennya keluar dari kantong sendiri untuk mengumpulkan spesimen. Dia juga dihidupkan kembali dan menjadi presiden Masyarakat Batavia yang aktif terlibat dalam studi sejarah alam Jawa dan daerah sekitarnya.
Dalam memoar tentang dirinya, istrinya Lady Sophia Raffles, koleksi binatang juga menyebutkan, di antara yang indah spesimen tapir, badak dan kijang. Dia menyebutkan bahwa dikirim ke Inggris. Raffles juga menyimpan beberapa hewan sebagai hewan peliharaan. Sebuah beruang anak dia dibesarkan dengan anak-anaknya dilaporkan sering bergabung dengannya untuk makan malam, makan mangga dan minum sampanye
Saat Jawa kembali ke tangan Belanda, Raffles tengah menggagas dan mengerjakan proyek arkeologi dan botani di Jawa. Kemudian sampai tahun 1823 Raffles menjadi Gubernur di Bengkulu. Beberapa wilayah di Sumatra (Belitung, Bangka dan Bengkulu) memang berdasarkan suatu perjanjian tak diserahkan ke tangan Belanda.
Hati Raffles sebenarnya telah tertambat dengan Jawa dan ia benci Belanda kembali berkuasa di Jawa. Karena situasi politik, tahun 1823 Raffles meninggalkan Indonesia (Bengkulu) dan tiga tahun kemudian meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45,karena menderita Apoplexy atau Stroke. Meskipun ia meninggal dalam usia yang masih tergolong muda, telah banyak jejak yang ditinggalkan Raffles terutama dalam karya-karya ilmu pengetahuan alam dan sejarah Jawa dan Sumatra. Menurut catatan Sophia Malkasian, mahasiswa pascasarjana pada Southest Asia Studies Program, Ohio University, Amerika Serikat, sebagaimana di muat dalam artikel “Determined to Die? European Accounts of Violence in the Pre – Colonial Indonesian Arcipelag” (2002), Raffles dianggap sebagai salah seorang pelopor kajian Jawa, serta bukunya menjadi sumber gagasan Barat mengenai daerah tersebut, dan sebagai titik awal pengkajian di wilayah Timur.
Raffles yang menggagas pendirian Kebun Raya Bogor dan membantu botanist Prof. Reindwardt (Belanda) dengan ahli2 dari Inggris untuk menyelesaikannya dan meresmikannya pada tahun 1817. Kebun Raya dan kebun binatang di Singapura yang terkenal itu juga didirikan oleh Raffles. Adalah atas prakarsa Raffles juga warisan budaya Jawa digali dan ditemukan : Candi Borobudur (1814), Candi Panataran (1815), Candi Prambanan (1815). Begitu besar perhatiannya pada sastra dan budaya setempat membuat Raffles mendirikan Museum Etnografi Batavia. Raffles pun sebagai administrator pemerintahan di Jawa dan Bengkulu banyak  meninggalkan sistem-sistem pemerintahan seperti pembagian karesidenan, sistem pajak, dsb.[1]

2.4 Perlawanan Rakyat Jawa Terhadap Penjajahan Bangsa Inggris
Pada saat Inggris berkuasa menggantikan Belanda di Jawa, yang mengisi kekeuasaan di pusat adalah Raffles, sedangkan di keresidenan Yogyakarta adalah John Crawfurd. Rasa kekesalan yang dilampiaskan Sultan diterima oleh Crawfurd. Pada kunjungan pertama yang dilakukan Raffles ke Jawa Tengah pada Desember 1811 yang disana ia menandatangani perjanjian-perjanjian dengan para penguasa. Memperoleh kesepakatan bahwa ia akan membatalkan perampasan-perampasan wilayah yang dilakukan oleh Daendels.
Sikap Raffles banyak menyesuaikan dengan keadaan dan diaanggap lemah oleh Sultan. Sementara itu terjadi surar-menyurat secara rahasia oleh Sunan dan Sultan untuk melaksanakan penyerangan terhadap pemerintah Inggris. Namun kabar tersebut terdengar oleh Raffles dan dengan segera ia mempersiapkan pasukannya. Dan pada bulan April 1812 ekspedisi terhadap Sultan dilakukan. Sultan yang menghadapi pasukan Inggris tidak mendapat bala bantuan dari Surakarta.
Seperti yang tertulis dalam surat rahasia bahwa suarakarta akan membantu Yogyakarta apabila bersedia melakukan perlawanan terhadap Inggris. Hal tersebut akhirnya diketahui oleh Raffles dan kraton Yogyakarta harus membayhar ganti rugi yang dialami oleh Inggris dan jumlahnya lebih besar dari apa yang ditanggung oleh Kraton Surakarta.
Tanggal 11 Agustus 1812 diadakan perjanjian atas rampasan daerah mancanegara dan daerah takluk Kedu. Dan ulah yang dibuat Raffles lainnya adalah pemecahan kesetiaan terhadap Kraton Yogyakarta yaitu dengan mengangkat Natakusuma sebagai Paku Alam yang bertanggungjawab kepada pemerintah Eropa. Kesusahan yang terjadi di Yogyakarta masih berlangsung sanpai Sultan HB III. Sultan yang baru ini belum bisa mengembalikan keadaan kraton sepenuhnya karena secara tiba-tiba ia wafat. Dan kedudukan selanjutnya digantikan oleh anaknya yang masih muda. Karena anaknya belum mampu untuk memegang kekuasaan maka kekuasaan dipegang oleh Paku Alam. Namun kondisi tersebut disalahgunakan olehnya dengan cara memperkaya diri. Kemudian setelah diketahui kondisi yang demikian maka kekuasaan dipegang Ratu Ibu dan Patih Danurejo IV.
Kondisi yang terjadi di kraton mendapat banyak kritikan salah satunya adalah Diponegoro seorang pangeran dari selir Sultan HB III. Ia jarang sekali terlihat di kraton namun ia hidup di desa Tegalrejo bersama pamannya. Dan ia hanya datang ke kraton hanya pada saat gerebeg saja. Pada permasalahan-permasalahan yang terjadi di kraton Diponegoro selalu turut serta dan ia pun tidak suka cara yang dilakukan oleh patih Danurejo. Apa yang dilakukannya selalu berlawanan dengan apa yang seharusnya terjadi dalam pemerintahan Kraton. Sehingga banyak yang tidak suka dengan cara kerja yang dilakukannya.
Hingga pada suatu ketika pada saat Crawfurd telah digantikan Smitsser dan Danurejo masih memegang kekuasaan suasana politik dalam kraton semakin tidak menentu. Banyak sekali para pejabat yang diberhentikan olehnya. Sehingga banyak sekali yang tidak suka dengan sikap Danurejo.
Sejak diberhentikannya bupati Banyumas Diponegoro jadi sering tidak kelihatan dalam kraton , ia kembali ke desanya untuk mengumpulkan massa guna melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda dan Danurejo. Konsep perang sabil pun menjadi landasan perlawanan, sebab ia adalah seorang tokoh yang memebimbing keagamaaan Sultan dalam kraton. Para pengikut dan pendukung Diponegoro pun semakin banyak sehingga terjadilah perang yang berkecamuk di Yogyakarta.
Pemberontakan sepoy Tahun 1815 terjadi pada saat akhir kekuasaan Inggris di Pulau Jawa. Pemerontakan itu dipicu oleh adanya persekongkolan yang terjadi diantara pasukan Sepoy dan Pakubuwono IV. Pasukan sepoy adalah pasukan yang dibawa oleh Inggris dari india ketika Belanda dikalahkan oleh perancis untuk membersihkan tanah jawa dari orang-orang Belanda. Tugas dari pasukan sepoy hanyalah sebagai pasukan sukarela saja yang ditempatkan di keresidenan jawa.
Persekongkolan ini dimulai ketika Belanda terlepas dari perancis yang telah terdengar oleh pasukan Sepoy. Pasukan sepoy yang mengetahui hal tersebut khawatir bahwa apabila suatu sat Inggris akan meninggalkan Jawa maka mereka tidak ikut dibawa ke India. Pikiran tersebut selalu membayangi mereka, hingga mereka menukan cara untuk bisa mengadakan perlawanan terhadap Inggris. Ide seperti itu kemudian dikembangkan dan agar mereka mendapat dukungan dari kraton para pangeran salah satu dari mereka yaitu pemimpinnya, Dhaugkul Syihk, mencoba untuk mendekati Pakubuwono VI. Dengan mendekati pakubuwono VI akhirnya mereka mendapatkan dukungan dari kraton para pangeran, namun tidak untuk Yogyakarta. Mereka tidak mendapat dukungan dari Sultan meski Dhaugkul Sikh mendekatinya.
Pendekatan yang dilakukan oleh Dhaugkul Sikh kepada adalah dengan cara menyamakan kesamaan budaya yang ada di jawa dan yang ada di india, bukan hanya itu ia juga menyenangkan hati Sunan dengan cara menghadirkan kesenian dari India. Setelah meluluhkan hati Sunan ia pun melancarkan aksinya dengan membujuk bekerjasama untuk melawan Inggris. Dan Sunan menerima karena ia berkeinginan untuk meningkatkan hegemominya di jawa yang telah terkalhkan oleh Yogyakarta. Hal lain adalah agar anaknya dapat menjadi Sultan di Yogyakarta dan pangeran dari Mangkubumi dapat menjadi pengusa Surakarta.[4]
Setelah diketahui oleh Raffles bahwa terjadi persekongkolan yang terjadi antara pasukan sepoy dan Pakubuwono VI maka Raffles mengirim pasukan untuk menyelidikinya dan mengancam kepada pasukan Sepoy bahwa siapa yang melakukan persekongkolan akan ditembak mati. Dan ketika Pakubuwono berjanji pada Mangkubumi akan melindunginya apabila akan ditangkap oleh pasukan Inggris maka Pakubuwono tidak melindunginya dan malah membiarkan Mangkubumi ditangkap dan diasingkan.
2.5  Pangeran Diponegoro, tokoh yang memimpin perlawanan rakyat Jawa terhadap Inggris
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda.
Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro. Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Lukisan Persitiwa Pengkapan Pangeran Diponegoro oleh VOC28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
Pada tahun 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
lokasi makam Pangeran Diponegoro di Jl. Diponegoro Makassar, Sulawesi Selatan. Juli 2008 Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen. Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam asuhan Ki Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran. Sampai saat ini keturunan Ki Sodewo masih tetap eksis dan salah satunya menjadi wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.[5]
2.5.1        Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog),
Perang Diponegoro adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar